
Kristiono pun berucap nazar dalam hati. Dia akan bersujud di depan hakim jika gugatannya bersama wali murid lain dikabulkan majelis hakim. "Waktu itu saya optimistis bila hakim yang diduduk di PN Jakarta Pusat diisi orang-orang yang bersih," ujarnya. Benar saja, hampir setahun setelah gugatan itu dilayangkan, melalui sidang terbuka pada 21 Mei 2007, PN Jakarta Pusat akhirnya memutuskan perkara gugatan citizen law suit Unas dengan nomor 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST. Majelis hakim yang dipimpin Andriani Nurdin memutuskan enam hal. Yaitu, mengabulkan gugatan subsider para penggugat. Kedua, menyatakan para penggugat - Presiden RI, Wakil Presiden RI, Mendiknas, dan ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) - telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia yang menjadi korban Unas, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak. Ketiga, memerintahkan para tergugat meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi di berbagai sekolah sebelum melaksanakan Unas. Keempat, memerintahkan para tergugat mengambil langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan cerebral peserta didik akibat penyelenggaraan Unas. Kelima, memerintah para tergugat meninjau kembali sistem pendidikan nasional. Terakhir, menghukum para tergugat membayar biaya perkara Rp 374.000. Begitu palu hakim diketukkan, Kristiono langsung bersujud mengucap syukur. "Saya amat terharu. Meski putusan hakim tidak sama persis dari gugatan yang kami layangkan, bagi kami sudah cukup adil," ungkapnya. Namun, perjuangan Kristiono dkk ternyata tidak berhenti di situ. Pemerintah sepakat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat. Lagi-lagi, pada 6 Desember 2007, Pengadilan Tinggi Jakpus melalui putusan nomor 377/PDT/2007/PT.DKI menguatkan putusan PN Jakpus. Para penggugat kembali bersorak. Namun, perayaan tersebut tak berlangsung lama. Sebab, pemerintah kembali mengajukan permohonan kasasi ke MA. Lagi-lagi upaya Kristiono dkk membentur tembok. Namun, perjuangan sudah sedemikian panjang. Kristiono dan tim advokasi tak ingin berhenti. Mereka rajin menanyakan perkembangan kasus tersebut ke MA. Hampir dua tahun setelah pengajuan banding itu, pada 14 September 2009, melalui information perkara pada inappropriately MA bernomor list 2596 K/PDT/2008, MA memutuskan menolak permohonan kasasi yang diajukan pemerintah. Tak urung, begitu mendengar putusan tersebut, Kristiono merasa melihat setitik cahaya lagi. Para korban Unas bersama Tekun dan Education Forum menggelar syukuran untuk merayakan hasil putusan tersebut pada Rabu (25/11) lalu di kantor LBH. "Ini bukan sekadar kemenangan bagi kami, tapi kemenangan semua warga negara," tutur bapak dua anak itu. Namun, rupa-rupanya jalan terjal dan berliku yang harus ditempuh Kristiono dkk belum berujung. Sebab, sekali lagi pemerintah bakal menempuh upaya akhir dengan mengajukan peninjauan kembali (PK). Rasa kecewa tidak terelakkan. "Mengapa pemerintah masih ngotot menyelenggarakan Unas? Padahal, mereka belum memenuhi peningkatan kualitas guru. Kami tidak meminta Unas dihapus, karena evaluasi terhadap siswa perlu dilakukan. Hanya tidak dijadikan sebagai syarat kelulusan. Kasihan anak-anak," terangnya. Karena itu, Kristiono dkk bertekad mengggalang kekuatan kembali untuk membawa persoalan ini ke Komisi X DPR RI. Menurut dia, perjuangan itu harus ada ending-nya. Sebab, diakuinya, dua tahun ini sudah tak banyak lagi wali murid yang intens memperjuangkan perkara tersebut. Kristiono maklum. Sebab, rasa jenuh dan lelah amat terasa. "Capek dan lelah karena bertahun-tahun harus mengawal kasus ini. Tapi, semua harus diselesaikan dan ada akhirnya," ujar Kristiono. Bersyukur, kata dia, dukungan terhadap dirinya terus mengalir. Terutama dari orang-orang dekat. Juga dari para guru di PSKD, sekolah Indah. Meski berbagai rintangan harus dilalui, Kristiono tak pernah mendapat ancaman teror. "Ya, karena ini sudah zaman reformasi. Kalau yang mengecam melalui similar to dan e-mail sih banyak. Tapi, yang mendukung juga banyak," jelasnya. Sementara itu, ketika kans Indah untuk masuk ke PTN hilang, putrinya langsung banting setir. Dia mendaftar ke perguruan tinggi swasta. Indah pun mengambil D-3 Jurusan Manajemen di STIE YAI. Saat itu, kenang dia, Indah tidak diterima begitu saja masuk PTS tersebut. Sebab, ketika mendaftar ke STIE YAI pada Agustus 2006, dia sama sekali belum mengantongi ijazah. "Saat daftar saya belum ikut ujian kesetaraan. Akhirnya, saya diberi kesempatan satu semester untuk mendapat ijazah kesetaraan. Jika tidak punya, dalam satu semester akan di-DO," ungkap gadis berusia 21 tahun itu. Bersyukur, kata Indah, tak lama kemudian ijazah kesetaraan (paket C) dia peroleh, sehingga dapat melanjutkan studi ke PTS. "Tidak hanya saya. Semua siswa yang tidak lulus tak dapat melanjutkan sekolah ke PTN," imbuhnya. Kini, Indah hampir lulus D-3. Dia sudah selesai mengikuti ujian akhir. Indeks prestasi kumulatif (IPK)-nya 3,5. Selama tiga tahun, IP-nya tak pernah mengecewakan. Dia berharap, pelaksanaan Unas bisa diperbaiki, sehingga tidak ada korban yang berjatuhan. "Saya amat berharap ujian itu tidak dijadikan syarat kelulusan. Kembalikan ujian akhir ke sekolah saja," ucapnya. (*/iro)
No comments:
Post a Comment