
"Mungkin mereka (klan Ampatuan) tidak akan menyakiti kita, jika ada wartawan yang turut mengawasi," katanya. Klan Ampatuan memang begitu berkuasa di Maguindanao. Dalam bahasa Toto, mereka kebal hukum, haus darah, dan bertindak bak "Tuhan" dalam urusan politik. Sejak menyatakan maju dalam pemilihan gubernur pada 2010, Toto pun masuk aim operasi klan itu. Beberapa hari sebelumnya, terasa sekali pergerakan oleh polisi, simpatisan, dan paramiliter yang diongkosi klan Ampatuan untuk meneror lawan politik. Sadar akan besarnya ancaman, begitu konvoi enam mobil yang mengangkut 58 orang meninggalkan kediaman Toto pada sekitar pukul 09.30, saya langsung menelepon Komandan Divisi Infantri 6 Mayor Jenderal Alfredo Cayton. Ketika tersambung setelah beberapa kali mencoba, Cayton memastikan kalau rute yang akan kami lewati, yakni Isulan, Sultan Kudarat, hingga ke Shariff Aguak, telah diamankan. Saya yang menumpang mobil L-300 milik UNTv yang berada di posisi paling depan pun merasa agak tenang. Bersama saya di mobil itu, reporter UNTv Victor Nunez dan kamerawan Paul Bernaldez yang juga bertindak sebagai sopir. Ketika kami semua mengisi bensin di sebuah pom yang masih berada di wilayah Buluan, saya pindah ke mobil Joseph Jubelag. Saya ingin menemani dia yang bermobil sendirian. Tak lama kemudian Bernaldez menyusul ikut di mobil Jubelag. Karena masih harus mengambil beberapa barang di Hotel BF Lodge di Tacurong City tempat para wartawan menginap semalam sebelumnya, kami mempersilakan lima mobil yang lain untuk berangkat duluan. Nah, ketika sampai di hotel itulah kami mendapat firasat sesuatu yang buruk akan menimpa rekan-rekan kami tadi. Gara-garanya, seorang staf hotel memberitahu kami kalau dua pria tak dikenal baru saja pergi mengendarai sepeda motor terpisah. Mereka pergi setelah bertanya kepada pihak hotel tentang siapa saja wartawan yang ikut rombongan ke Shariff Aguak. Pihak hotel tak memenuhi permintaan itu, tapi kami bertiga memutuskan untuk kembali ke Buluan. Sepanjang perjalanan kami mengontak rekan-rekan kami yang dalam perjalanan ke Buluan, tapi selalu gagal. Sesampainya di Buluan lagi, musibah itu pun terdengar. Toto memberitahu kami, rombongan diculik dan dibunuh. Sebagian korban perempuan bahkan diperkosa terlebih dahulu. Dari 34 wartawan yang berangkat, hanya 25 yang sudah bisa diidentifikasi. Duh, saya seperti dihantam batu karang. Saya merasa sangat bersalah. Seharusnya saya juga disana, ikut dibunuh. Satu per satu wajah rekan-rekan saya membayang. Senin malam 23 November itu, untuk kali pertama sepanjang hidup saya tak bisa memejamkan mata. (war/ttg)
No comments:
Post a Comment